Jangan terpengaruh badar, IHSG besok pekan ke-5 Juni 2020.




Dalam kajian terbarunya yang berjudul Global Financial Stability Report, Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa ada diskoneksi antara pasar keuangan dengan ekonomi riil yang berpotensi membuat harga aset-aset kembali terkoreksi. 

Lembaga keuangan global yang bermarkas di Washington DC tersebut menyoroti reli di pasar keuangan yang terjadi, terutama di pasar saham. Sejak menyentuh titik dasar (bottom) pada 23 Maret 2020, pasar ekuitas global mengalami reli tak terbendung. 

Beberapa indeks saham utama seperti S&P 500 bahkan posisinya secara year to date hanya terkoreksi sebesar 6,86%. Pada saat yang sama indeks saham MSCI Asia non Jepang (AxJ) juga hanya terkoreksi 6,88% dari posisinya di awal tahun. 


Ada beberapa faktor yang mampu menjelaskan hal ini. Pertama adalah respons dari bank sentral global yang secara agresif memangkas suku bunga acuannya. Seperti halnya bank sentral AS yang menahan Federal Fund Rates (FFR) berada di kisaran mendekati nol persen.

Tak sampai di situ saja, the Fed pada Maret lalu juga mengumumkan akan memberikan fasilitas kredit senilai US$ 2,3 triliun yang pada akhirnya membuat pasar menjadi lebih kalem dan mengakhiri zona pesakitannya.

Bank-bank sentral global bahkan juga secara agresif melakukan pelonggaran kuantitatif (QE) melalui pembelian aset-aset keuangan seperti surat utang pemerintah, efek beragun aset properti hingga obligasi korporasi secara jor-joran yang membuat neraca bank sentral menjadi menggelembung.

Kebijakan serupa juga dilakukan oleh bank-bank sentral di negara berkembang seperti Indonesia yang membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder maupun primer.

Pembelian SBN di pasar primer oleh Bank Indonesia (BI) diatur dalam Perppu nomor 1 tahun 2020. Namun BI di sini hanya berperan sebagai non-competitive bidder atau lender of the last resort.

Hal ini membuat sentimen investor membaik dan berlih memburu aset-aset berisiko seperti saham.

Di sisi lain mood investor yang membaik juga membuat negara-negara berkembang (emerging market) kena berkahnya. Investor kembali memarkirkan dana (inflow) ke negara berkembang sehingga mendongkrak harga aset-aset keuangannya. 

Bersama dengan kebijakan moneter, pemerintah global juga menggelontorkan stimulus fiskal ke sektor kesehatan untuk membantu penanganan wabah Covid-19, relaksasi pajak, hingga bantuan sosial (social safety net) untuk masyarakat yang terdampak dalam jumlah yang besar, meski skala dan kapasitasnya berbeda. 

Ditambah dengan sentimen relaksasi lockdown yang dilakukan di banyak negara sekaligus pembukaan kembali ekonomi membantu mendongkrak keyakinan investor sehingga lebih berani memburu aset berisiko. 

Investor juga berpikir bahwa bank sentral akan terus-terusan memberikan stimulus guna menyelamatkan ekonomi dari kejatuhan yang sangat dalam. Namun IMF melihat ini sebagai bentuk optimisime yang berlebihan.

IMF justru melihat bahwa saat ini terjadi diskoneksi antara pasar dan kegiatan ekonomi riil yang berpotensi membuat harga-harga aset terkoreksi alias hanya fenomena bear market rally. Fenomena ini juga pernah terjadi pada krisis-krisis sebelumnya. 

Mengutip CNBC International, koreksi yang dimaksud adalah penurunan harga atau indeks 10% atau lebih.

"Diskoneksi antara pasar dan ekonomi riil meningkatkan risiko terjadinya koreksi harga aset-aset keuangan ketika selera investor terhadap risiko memudar, hal ini akan menjadi ancaman untuk pemulihan" kata IMF dalam Global Financial Stability Report.

"Mengacu pada pemodelan yang dibuat oleh staf IMF, perbedaan antara harga pasar dan valuasi fundamentalnya berada di level tertinggi dalam sejarah hampir di seluruh negara maju untuk pasar saham dan surat utangnya, meski yang terjadi justru sebaliknya untuk saham di beberapa negara berkembang" tulis laporan tersebut. 

Alasan mengapa IMF memperingatkan hal tersebut adalah, risiko ketidakpastian yang masih sangat tinggi seputar kapan berakhirnya wabah. Menggunakan rilis data ekonomi dan data lain yang memiliki frekuensi tinggi, IMF memproyeksikan ekonomi global terkontraksi -4,9% tahun ini. 

Angka tersebut merupakan revisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi April sebesar 1,9 poin persentase dari sebelumnya di angka minus 3%. Mobilitas yang masih terbatas, rendahnya inflasi hingga konsumsi masyarakat yang turun hingga sektor jasa yang anjlok jadi faktor yang dipertimbangkan oleh IMF.

Menurut IMF, perubahan sentimen di pasar dapat terjadi akibat makin nyatanya ancaman gelombang kedua wabah Covid-19, meluasnya kerusuhan sosial, perubahan kebijakan moneter dan kembali tegangnya hubungan dagang antar negara.

Lebih lanjut IMF juga menyoroti adanya risiko non-bank untuk perusahaan keuangan seperti para pengelola dana yang juga dapat mengalami guncangan bahkan gelombang insolvensi. Hal ini akan makin menambah tekanan di pasar.

"Contohnya adalah jika terjadi tekanan besar pada harga aset-aset keuangan, hal ini akan memicu terjadinya outflow dana investasi yang pada akhirnya akan memicu aksi jual besar-besaran dari para manajer investasi dan pasar akan sangat tertekan" kata IMF.

Risiko ketidakpastian memang masih sangat tinggi. Harga-harga aset keuangan yang melambung membuatnya termasuk kemahalan untuk fundamentalnya yang masih rapuh. Alhasil sangat rawan untuk koreksi. 

No comments

Powered by Blogger.